April 10, 2010

coremap

Assalamualaikum
KEBIJAKAN CORAL REEF REHABILITATION AND
MANAGEMENT PROGRAM (COREMAP) UNTUK TERUMBU KARANG
Oleh : Budi Sulistyawan (NIM. K4A008008)

A. PENDAHULUAN
Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang sangat potensial. Salah satunya adalah sumberdaya terumbu karang yang hampir tersebar di seluruh perairan Indonesia. Luas terumbu karang Indonesia saat ini adalah 42.000 Km2 1 atau 16,5 % dari luasan terumbu karang dunia, yaitu seluas 255.300 Km2. Dengan estimasi di atas Indonesia menduduki peringkat terluas ke-2 di dunia setelah Australia, yang mempunyai luasan terumbu karang sebesar 48.000 Km2 (Bryant, et al 1998). Namun demikian apabila dilihat dari sisi keanekaragaman hayati, terumbu karang Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia dengan 70 genera dan 450 spesies (Veron, 1995).
Terumbu karang yang hidup didasar laut yang luas dengan beraneka ragam jenis dan warna merupakan habitat tempat hidup bagi berbagai biota terumbu karang yang bernilai ekonomi penting dan manfaat yang terkandung di dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam, baik manfaat langsung maupun manfaat tidak langsung seperti bunga karang, penyu, udang barong, kima, teripang, rumput laut serta ikan terumbu karang lainnya. Dari kekayaan hayati itulah terumbu karang berpotensi sebagai sumber makanan, obat-obatan, wisata, komoditi ekspor, bahan bangunan, pelindung pantai dari gempuran ombak, penahan abrasi pantai, pemecah gelombang, keanekaragaman hayati, tempat mengasuh, tempat mencari makan dan tempat pemijahan bagi biota lainnya serta sebagai laboratorium alam untuk penelitian dan pendidikan.
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dunia yang sangat pesat yang diiringi dengan eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan kelestariannya, berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup, termasuk sumberdaya terumbu karang. Peningkatan eksploitasi laut untuk memenuhi permintaan proteinikan dan produk produk perikanan bahan baku industri serta pemanfaatan lain dari ekosistem laut yang tidak terkendali membawa dampak pada kerusakan dan penurunan mutu dan produktivitas sumber daya laut. Salah satu sumber daya laut yang rentan terhadap aktivitas tersebut adalah ekosistem terumbu karang. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi umum terumbu karang dunia yang hampir 36 % dalam keadaan kritis akibat eksploitasi yang berlebih, 22 % terancam pencemaran dari limbah darat dan erosi serta 12 % terancam dari pencemaran (Bryant, 1998). Di Indonesia menurut penelitian P3O-LIPI yang dilakukan pada tahun 1996 menunjukkan bahwa 39,5 % terumbu karang Indonesia dalam keadaan rusak, 33,5 % dalam keadaan sedang, 21,7 % dalam keadaan baik dan hanya 5,3 % dalam keadaan sangat baik. Apabila tidak ada upaya nasional untuk menghentikan laju degradasi terumbu karang tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan degradasi terumbu karang akan semakin luas dan besar.
Ekosistem terumbu karang harus diselamatkan dari ancaman karena merupakan modal pembangunan, penggerak roda perekonomian yang dapat menyejahterakan masyarakat pesisir dan nelayan. Sebagai sumberdaya pesisir, ekosistem terumbu karang dan masyarakat yang bermukim disekitarnya merupakan suatu kesatuan pengelolaan. Menyadari akan hal tersebut maka penyusunan kebijaka nasional pengelolaan terumbu karang merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh pemerintah dalam rangka untuk mengurangi atau menghentikan laju degradasi terumbu karang yang dari waktu ke waktu semakin luas dan besar. Oleh karena itu pemerintah Indonesia mencanangkan program penyelamatan terumbu karang atau yang lebih dikenal dengan “Coral Reef Rehabilitation and Management Program” (COREMAP). Dalam pelaksanaannya program ini di wujudkan dalam 5 komponen kegiatan: Pengembangan Kelembagaan (Capacity Building), Pusat Informasi dan pelatihan terumbu karang (CRITIC), Pemantauan Pengawasan dan Penegakan Hukum (MCS), Penyadaran Masyarakat (Public Awareness), dan Pengelolaan Berbasis Masyarakat (CBM).

B. KEBIJAKAN NASIONAL UNTUK TERUMBU KARANG
Program penyelamatan terumbu karang atau yang lebih dikenal dengan “Coral Reef Rehabilitation and Management Program” (COREMAP) pelaksanaannya di wujudkan dalam 5 komponen kegiatan yaitu Pengembangan Kelembagaan (Capacity Building), Pusat Informasi dan pelatihan terumbu karang (CRITIC), Pemantauan Pengawasan dan Penegakan Hukum (MCS), Penyadaran Masyarakat (Public Awareness), dan Pengelolaan Berbasis Masyarakat (CBM). Terdapat tiga isu utama yang diperhatikan, yaitu (1) degradasi terumbu karang yang semakin besar, (2) kebutuhan pembangunan ekonomi masyarakat pesisir secara khusus, dan (3) pembagian kewenangan hak maupun kewajiban antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Sumberdaya terumbu karang merupakan bagian dari sumberdaya alam di wilayah pesisir yang pengelolaannya tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya alam lainnya seperti hutan mangrove, padang lamun, dan sumberdaya alam lainnya. Oleh karena itu kebijakan pengelolaan terumbu karang secara nasional harus memperhatikan serta menggunakan pendekatan menyeluruh (holistik) dan terpadu. Selain itu, sejalan dengan perkembangan politik nasional, maka kebijakan tersebut juga harus sejalan dengan pelaksanaan Undang Undang No. 22 tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, kebijakan yang diajukan merupakan upaya untuk membantu pelaksanaan otonomi daerah dalam mengelola sumberdaya terumbu karang di tiap-tiap daerah.
Kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang disusun dengan didasari oleh beberapa prinsip yaitu:
 Keseimbangan antara intensitas dan variasi pemanfaatan terumbu karang
 Pertimbangan pengelolaan sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat lokal dan ekonomi nasional
 Mengandalkan pelaksanaan peraturan formal dan peraturan non formal untuk mencapai tujuan pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang yang optimal
 Menciptakan insentif bagi pengelolaan yang berkeadilan dan berkesinambungan
 Mencari pendekatan pengelolaan secara kooperatif antara semua pihak terkait
 Menyusun program pengelolaan berdasarkan data ilmiah yang tersedia dan kemampuan daya dukung lingkungan
 Pengakuan hak-hak ulayat dan pranata sosial persekutuan masyarakat adat tentang pengelolaan terumbu karang
 Memantapkan wewenang daerah dalam pengelolaan terumbu karang sesuai dengan semangat otonomi daerah.
Sedangkan tujuan penyusunan kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang Indonesia ini adalah:
1. Pengelolaan yang seimbang antara intensitas dan variasi pemanfaatan yang didasarkan pada data ilmiah yang tersedia dan kemampuan daya dukung lingkungan.
2. Mengembangkan pengelolaan yang mempertimbangkan prioritas ekonomi nasional, masyarakat lokal dan kelestarian sumberdaya terumbu karang.
3. Mengembangkan pengelolaan terumbu karang secara kooperatif antara semua pihak.
4. Melaksanakan peraturan formal dan peraturan non formal.
5. Menciptakan insentif bagi pengelolaan yang berkeadilan dan berkesinambungan
Adapun sasaran kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang Indonesia ini adalah :
1. Meningkatnya kesadaran dan peran stakeholders dalam pengelolaan terumbu karang secara lestari
2. Terlaksananya pendelegasian wewenang kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan terumbu karang
3. Terciptanya kerjasama antar stakeholder dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang
4. Berkurangnya laju degradasi terumbu karang
5. Terciptanya suatu mekanisme dan landasan pengelolaan data ilmiah tentang potensi, bentuk-bentuk pemanfaatan lestari dan daya dukung lingkungan pada ekosistem terumbu karang.
6. Terlaksananya pola pengelolaan berbasis masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya terumbu karang.
Berbagai penelitian dan pengamatan terhadap pemanfaatan sumberdaya terumbu karang menunjukkan bahwa secara umum terjadinya degradasi terumbu karang ditimbulkan oleh dua penyebab utama, yaitu akibat kegiatan manusia (anthrophogenic causes) dan akibat alam (natural causes). Kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya degradasi terumbu karang antara lain: (1) Penambangan dan pengambilan karang, (2) Penangkapan ikan dengan menggunakan alat dan metoda yang merusak, (3) Penangkapan yang berlebih, (4) Pencemaran perairan, (5) Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, dan (6) Kegiatan pembangunan di wilayah hulu.
Sedangkan degradasi terumbu karang yang diakibatkan oleh alam antara lain: pemanasan global (global warming), bencana alam seperti angin taufan (storm), gempa teknonik (earthquake), banjir (floods) dan tsunami serta fenomena alam lainnya seperti El-Nino, La-Nina dan lain sebagainya.
Segenap permasalahan (kecuali yang diakibatkan oleh alam) yang menjadi penyebab terjadinya degradasi terumbu karang pada dasarnya disebabkan oleh beberapa faktorpen dorong yang menjadi akar permasalahan terjadinya degradasi tersebut. Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis terdapat 10 (sepuluh) faktor yang menjadi akar permasalahan, yaitu: (1) inkonsistensi dalam implementasi kebijakan yang diambil; (2) metode pengelolaan yang kurang memadai; (3) instrumen hukum dan penegakan peraturan perundangan yang belum memadai; (4) kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang arti penting dan nilai strategis terumbu karang dari berbagai kalangan (elit politik, pengusaha, publik); (5) kemiskinan; (6) keserakahan; (7) kapasitas dan kapabilitas pengelola yang kurang memadai; (8) permintaan pasar/tingkah laku konsumen; (9) faktor budaya/adat istiadat/kebiasaan; serta (10) status wilayah terumbu karang yang terbuka untuk umum.
Degradasi terumbu karang baik ditimbulkan oleh kegiatan manusia maupun perubahan kondisi alam menyebabkan hilangnya sebagian aset nasional, yaitu terjadinya penurunan produktivitas sumberdaya terumbu karang (seperti penangkapan dan pariwisata) dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya (seperti volume dan jenis karang serta biota penghuninya). Berkurangnya produktivitas sumberdaya terumbu karang yang diakibatkan oleh terjadinya degradasi terumbu karang semakin memperburuk posisi masyarakat pesisir yang hidupnya sangat tergantung pada sumberdaya alam tersebut.
Salah satu faktornya adalah bahwa penegakan hukum terhadap berbagai peraturan yang ada tidak pernah dilakukan secara konsisten dan terus menerus. Hal tersebut diperburuk lagi oleh ketidakjelasan wewenang dan tanggungjawab dari berbagai instansi pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya itu.
Belum berhasilnya pengelolaan terumbu karang yang dilakukan oleh pemerintah selama ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu;
1. Minimnya pemahaman terhadap nilai-nilai yang tidak tampak dan total nilai ekonomis yang sebenarnya dari ekosistem terumbu karang,
2. Rendahnya upaya koordinasi diantara berbagai instansi pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal, Terumbu karang belum menjadi isu utama dalam agenda politik para pemimpin bangsa,
3. Kurangnya pengalokasian dana bagi pengelolaan terumbu karang, Lemahnya pendekatan metode dan strategi maupun lobi yang dilakukan oleh berbagai kelompok pemerhati masalah lingkungan dalam pengelolaan terumbu karang,
4. Program pengelolaan yang hanya mengandalkan satu jenis pendekatan, yaitu pengelolaan daerah konservasi (taman nasional, dll).
5. Kurangnya konsistensi dan lemahnya penegakan hukum.
6. Belum menempatkan masyarakat pesisir dalam pengelolaan terumbu karang
Dengan diberlakukannya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka kesempatan masyarakat lokal untuk memperoleh hak dalam mengelola sumberdaya alam yang terdapat di wilayahnya, dalam hal ini sumberdaya terumbu karang semakin besar. Namun harus disadari pula bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat lokal selain memberikan peluang juga menuntut adanya tanggung jawab dari masyarakat tersebut. Apabila masyarakat diberikan atau menuntut hak atau legitimasi terhadap pengelolaan sumberdaya terumbu karang di wilayahnya, maka mereka juga harus menerima dan menjalankan kewajiban atau tanggungjawabnya untuk mengelola sumberdaya tersebut secara berkelanjutan. Kewajiban atau tanggung jawab tersebut mempunyai arti bahwa masyarakat harus dapat turut memikul beban biaya yang diperlukan untuk memulihkan kembali sumberdaya tersebut agar tetap lestari. Biaya pengelolaan yang harus dipikul tersebut dapat meliputi berbagai hal seperti; penyediaan infrastruktur pengelolaan, pelaksanaan penegakan hukum, pemantauan kualitas sumberdaya, pengurangan unit-unit penangkapan ikan, pengurangan daerah-daerah penangkapan ikan, berkurangnya pendapatan dalam waktu tertentu, bantuan-bantuan teknis, administrasi, penciptaan berbagai alternatif mata pencaharian, dan lain sebagainya.

C. ANALISIS SWOT
Kabupaten Demak adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang terletak pada 6º43'26" - 7º09'43" LS dan 110º48'47" BT dan terletak sekitar 25 km di sebelah timur Kota Semarang. Demak dilalui jalan negara (pantura) yang menghubungkan Jakarta-Semarang-Surabaya-Banyuwangi. Kabupaten Demak memiliki luas wilayah seluas ± 1.149,77 km², yang terdiri dari daratan seluas ± 897,43 KM², dan lautan seluas ± 252,34 km². Sedangkan kondisi tekstur tanahnya, wilayah Kabupaten Demak terdiri atas tekstur tanah halus (liat) dan tekstur tanah sedang (lempung). Dilihat dari sudut kemiringan tanah, rata-rata datar. Dengan ketinggian permukaan tanah dari permukaan air laut (sudut elevasi) wilayah Kabupaten Demak terletak mulai dari 0 M sampai dengan 100 m. Kabupaten Demak mempunyai pantai sepanjang 34,1 km, terbentang di 13 desa yaitu desa Sriwulan, Bedono, Timbulsloko dan Surodadi (Kecamatan Sayung), kemudian Desa Tambakbulusan Kecamatan Karangtengah, Desa Morodemak, Purworejo dan Desa Betahwalang (Kecamatan Bonang) selanjutnya Desa Wedung, Berahankulon, Berahanwetan, Wedung dan Babalan (Kecamatan Wedung). Sepanjang pantai Demak ditumbuhi vegetasi mangrove seluas sekitar 476 Ha.

D. KESIMPULAN
Kabupaten Demak mempunyai pantai sepanjang 34,1 km, terbentang di 13 desa yaitu desa Sriwulan, Bedono, Timbulsloko dan Surodadi (Kecamatan Sayung), kemudian Desa Tambakbulusan Kecamatan Karangtengah, Desa Morodemak, Purworejo dan Desa Betahwalang (Kecamatan Bonang) selanjutnya Desa Wedung, Berahankulon, Berahanwetan, Wedung dan Babalan (Kecamatan Wedung). Sepanjang pantai Demak ditumbuhi vegetasi mangrove seluas sekitar 476 Ha.
Beberapa faktor yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Demak adalah: pertambakan, penebangan, reklamasi/ konversi lahan menjadi pemukiman dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan. Akibat kerusakan mangrove maka otomatis akan akan mengganggu bahkan merusak kedua ekosisitem lain dan pada akhirnya menurunkan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan manusia karena menurunnya sumber daya hayati seperti stok ikan, kepiting dan lain-lain. Pemecahan masalah terhadap kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Demak adalah restorasi ekositem mangrove dengan keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan. Dasar pemikiran atau landasan berpijak pada pemberdayaan mangrove bagi kesejahteraan masyarakat pesisir berbasis masyarakat adalah keberlanjutan (sustainability) usaha pemanfaatan dan pelestarian hutan mangrove, baik ditinjau dari aspek sosial-ekonomi maupun aspek lingkungan hidup, dan bersifat merakyat (bottom up).

E. DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL. IPB. Bogor.
Setyawan, A.D. dkk. 2004. Tumbuhan mangrove di Jawa: 2. Restorasi. Biodiversitas 5 (2): 105-118.
Setyawan, A.D. K. Winarno. 2006. Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Biodiversitas 7 (2): 159-163.
Snedaker. 1978. Mangrove; their values and perpetuation. National Resources. 14:6-13.

KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE,
DAMPAK DAN PEMECAHANNYA




Tugas Mata Kuliah

















Oleh :
BUDI SULISTYAWAN
K4A008008





MAGISTER MANAJEMEN SUMBER DAYA PANTAI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2009 klik http://www.jualan.dizza.co.cc

dampak ekonomi kerusakan mangrove

Assalamualaikum
DAMPAK EKONOMI KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE
(Studi Kasus Di Kabupaten Demak)
Oleh : Budi Sulistyawan (NIM. K4A008008)

A. PENDAHULUAN
Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove.
Hutan mangrove memiliki produktivitas primer yang paling tinggi. Hutan mangrove dapat memberikan konstribusi besar terhadap detritus organic yang sangat penting sebagai sumber energi bagi biota diperairan sekitarnya. Proses dekomposisi daun mangrove menciptakan rantai makanan detritus yang komplek, sehingga memperkaya produktivitas hewan bentos yang hidup di dasar perairan. Kehadiran organisme decomposer yang melimpah merupakan sumbermakanan bagi berbagai jenis larva ikan, udang, dan biota lainnya yang sudah beradaptasi sebagai pemakan dasar. Detritus yang dihasilkan tidak hanya menjadi dasar bagi pembentukan rantai makanan di ekosistem mangrove, tetapi juga penting sebagai sumber makanan dan nutrient bagi biota di perairan pantai yang berada dekat dengan estuaria. Berdasarkan hasil-hasil studi dibeberapa daerah pantai juga menunjukkan bahwa keberadaan hutan mangrove sangat memberikan manfaat pada masyarakat pesisir, baik yang didapat melalui peningkatan hasil tangkapan, perolehan kayu bakau yang mempunyai nilai ekspor tinggi dan keamanan pantainya.
Wilayah pesisir tersebut merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat dan laut, ke arah darat meliputi bagian tanah baik yang kering maupun yang terendam air laut, dan masih dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik laut seperti pasang surut, ombak dan gelombang serta perembesan air laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian perairan laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat. Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas kearah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut yang dicirikan oleh jenis vegetasi yang khas. Wilayah pesisir juga merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline) maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas sejajar garis pantai (longshore) dan batas tegak lurus terhadap garis pantai (crossshore). Batas wilayah pesisir kearah laut mencakup bagian atau batas terluar daripada daerah paparan benua (continental shelf) dimana ciri-ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Kerusakan hutan mangrove telah terjadi di Kabupaten Demak hingga saat ini masih terus terjadi dan kian parah. Kerusakan ini terjadi sebagaian besar karena disebabkan pengelolaan wilayah pesisir yang kurang tepat. Kondisi ini harus mendapatkan perhatian serius agar kelestarian hutan mangrove. Berdasarkan kodisi tersebut di atas, maka kajian ini mengambil kajian studi kasus di wilayah pesisir Kabupaten Demak yakni ingin mengetahui dampak kerusakan hutan dan bagaimana upaya-upaya pemecahannya.

B. KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE DI KABUPATEN DEMAK
Kabupaten Demak adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang terletak pada 6º43'26" - 7º09'43" LS dan 110º48'47" BT dan terletak sekitar 25 km di sebelah timur Kota Semarang. Demak dilalui jalan negara (pantura) yang menghubungkan Jakarta-Semarang-Surabaya-Banyuwangi. Kabupaten Demak memiliki luas wilayah seluas ± 1.149,77 km², yang terdiri dari daratan seluas ± 897,43 KM², dan lautan seluas ± 252,34 km². Sedangkan kondisi tekstur tanahnya, wilayah Kabupaten Demak terdiri atas tekstur tanah halus (liat) dan tekstur tanah sedang (lempung). Dilihat dari sudut kemiringan tanah, rata-rata datar. Dengan ketinggian permukaan tanah dari permukaan air laut (sudut elevasi) wilayah Kabupaten Demak terletak mulai dari 0 M sampai dengan 100 m. Kabupaten Demak mempunyai pantai sepanjang 34,1 km, terbentang di 13 desa yaitu desa Sriwulan, Bedono, Timbulsloko dan Surodadi (Kecamatan Sayung), kemudian Desa Tambakbulusan Kecamatan Karangtengah, Desa Morodemak, Purworejo dan Desa Betahwalang (Kecamatan Bonang) selanjutnya Desa Wedung, Berahankulon, Berahanwetan, Wedung dan Babalan (Kecamatan Wedung). Sepanjang pantai Demak ditumbuhi vegetasi mangrove seluas sekitar 476 Ha.

Gambar 1 Mangrove di sepanjang sungai di Kabupaten Demak Tahun. 2008
Secara ekologis hutan mangrove telah dikenal mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Ekosistem mangrove bagi sumberdaya ikan dan udang berfungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara juvenil dan berkembang biak. Bagi fungsi ekologi sebagai penghasil sejumlah detritus dan perangkap sedimen. Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa baik sebagai habitat pokok maupun sebagai habitat sementara. Bagi fungsi ekonomis dapat bermanfaat sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku pulp dan kertas, kayu bakar, bahan arang, alat tangkap ikan dan sumber bahan lain seperti tannin dan pewarna. Arang dari jenis Rhizophora spp mempunyai nilai panas yang tinggi dan asapnya sedikit. Mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang air laut. Disamping itu sebagai peredam gelombang dan angin badai, penahan lumpur, perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran permukaan (Bengen, 1999).
Beberapa faktor yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Demak adalah: pertambakan, penebangan, reklamasi/ konversi lahan menjadi pemukiman dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan.
1. Pertambakan
Konversi ekosistem mangrove menjadi tambak merupakan faktor utama penyebab hilangnya hutan mangrove dunia, tidak terkecuali di pesisir Kabupaten Demak. Di kawasan ini tambak merupakan pemandangan umum, baik tambak udang dan bandeng maupun tambak garam. Pada musim penghujan, tambak garam yang bersalinitas tinggi biasanya juga diubah menjadi tambak bandeng.
Tambak-tambak ikan dan udang di kawasan ini dikelola secara intensif hingga jauh ke arah daratan. Hampir semua pantai yang mengalami sedimentasi membentuk dataran lumpur dan memiliki ekosistem mangrove diubah menjadi areal tambak.
2. Penebangan
Pencurian kayu untuk bangunan rumah maupun kayu bakar dan juga merupakan bahan pembuatan arang yang baik.
3. Reklamasi/ konversi lahan menjadi pemukiman.
Reklamasi pantai untuk kepentingan industri dan pelabuhan telah banyak dilakukan di pantai utara Jawa. Di Kabupaten Demak, reklamasi pantai untuk kegiatan usaha relatif masih terbatas. Dibeberapa tempat dibangun rumah, TPI dan tempat wisata.
4. Sedimentasi
Sedimentasi merupakan faktor dinamis yang dapat mendorong terbentuknya ekosistem mangrove, namun sedimentasi dalam skala besar dan luas dapat merusak ekosistem mangrove karena tertutupnya akar nafas dan berubahnya kawasan rawa menjadi daratan. Sedimentasi di pesisir Kabupaten Demak di beberapa tempat memungkinkan terus bertambah luasnya daratan ke arah laut sehingga terbentuk tanah timbul, dan memungkinkan pertumbuhan ekosistem mangrove.
5. Abrasi
Abrasi pantai akan merusak hutan mangrove, namun hutan mangrove dapat mencegah terjadinya abrasi karena hutan mangrove mengikat tanah dengan kuat.
6. Pencemaran lingkungan.
Pencemaran dari limbah pertanian dan limbah rumah tangga serta industry menyumbang pencemaran yang cukup tinggi sehingga akan meracuni mangrove. Bahan pencemar seperti minyak, sampah, dan limbah industri dapat menutupi akar mangrove sehingga mengurangi kemampuan respirasi dan osmoregulasi tumbuhan mangrove, dan pada akhirnya menyebabkan kematian.

C. DAMPAK KERUSAKAN MANGROVE
Dampak dari kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Demak adalah pengubahan fungsi hutan mangrove menjadi fungsi lain secara tidak wajar akan mengakibatkan timbulnya keadaan yang tidak sesuai dengan kaifah pembangunan yang berkelanjutan. Alih fungsi hutan mangrove saat ini banyak digunakan untuk pembukaan areal tambak tidak akan memberikan hasil yang lebih besar jika dibandingkan dengan membiarkan ekosistem mangrove sebagai habitat biota secara alamiah. Alih fungsi mangrove akan merusak siklus rantai makanan bagi seluruh biota ekosositem mangrove yang juga berkaitan dengan biota yang di depannya yakni padang lamun dan terumbu karang, karena anda interaksi yang sangat kuat dari ketiga ekosistem tersebut. Apabila fungsi-fungsi hutan mangrove akibat alih fungsi maka otomatis akan akan mengganggu bahkan merusak kedua ekosisitem lain. Pada akhirnya menurunnya daya dukung lingkungan terhadap kehidupan manusia karena menurunnya sumber daya hayati seperti stok ikan, kepiting dan lain-lain.
Kerusakan ekosistem ini juga secara sistemik sebagai salah satu penyebab global warming, dampak yang ditimbulkan berikutnya adalah :
1. Peningkatan muka air laut sehingga terjadi rob.

Gambar 1. Rob menggenangi jalan di Desa Sriwulan Kec. Sayung Kabupaten Demak Tahun 2008

Gambar 2. Rob menggenangi pemukiman di Besa Sriwulan Kec. Sayung Kabupaten Demak Tahun 2008

Gambar 2. Rob menggenangi tambak di Besa Sriwulan Kec. Sayung Kabupaten Demak Tahun 2008

Kerugian secara ekonomi yaitu menimbulkan biaya meninggikan pondasi rumah, jalan, infrastruktur yang lain. Disamping itu tambak yang sebelumnya menjadi areal budidaya udang dan bandeng tidak dapat berproduksi lagi.
2. Rusaknya infrasturktur yang telah dibangun.
3. Terpaan angin yang kencang
Mangrove secara alami adalah pematah angin sehingga angin tidak terlalu kencang, dengan rusaknya mangrove angin sering merusak genting rumah.
4. Biaya pengelolaan kota akan bertambah.
Akibat rob berdampak lanjutan pada pengelolaan kota menjadi lebih mahal.
5. Kegiatan sehari hari masyarakat terhenti.
Akibat rob berdampak lanjutan pada terhentinya aktivitas masyarakat seperti memasak, mencuci, bekerja, makan, minum sekolah dan lain-lain.
6. Terputusnya sarana penerangan, transportasi dan komunikasi.
Akibat rob berdampak lanjutan pada terputusnya sarana penerangan transportasi dan komunikasi yang akan berdampak sistemik pada masyarakat.
7. Abrasi
Mangrove secara alami merupakan pematah ombak, dengan rusaknya mangrove ini menyebabkan tambak abrasi. Sehingga timbul biaya pembuatan breakwater sebagai pemecah ombak yang membutuhkan biaya yang cukup besar.
8. Relokasi
Kegiatan relokasi merupakan salah satu solusi namun membutuhkan biaya yang sangat besar.
9. Hilangnya mata pencaharian masyarakat sebagai petani tambak akibat rob.
Tambak yang sebelumnya menjadi areal budidaya udang dan bandeng tidak dapat berproduksi lagi. Permasalahan ini adalah sangat serius karena menyangkut ekonomi.

D. PEMECAHAN MASALAH
Pemecahan masalah terhadap kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Demak adalah restorasi ekositem mangrove. Restorasi diperlukan apabila ekosistem telah terdegradasi dan berubah jauh, tidak dapat memperbaharui diri secara alami untuk kembali ke kondisi semula, serta tidak dapat melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya, sehingga memerlukan pengelolaan dan perlindungan Tujuan utama restorasi mangrove adalah mengelola struktur, fungsi, dan proses-proses ekologi pada ekosistem tersebut, serta mencegahnya dari kepunahan, fragmentasi atau degradasi lebih lanjut Ekosistem mangrove di Jawa mengalami penurunan sangat drastis, akibat tingginya tekanan pertambahan penduduk yang berimplikasi pada besarnya kegiatan pertambakan, penebangan hutan, reklamasi dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan, sehingga perlu dilakukan restorasi untuk mengembalikan karakteristik dan fungsi ekosistem ini. Hutan mangrove yang rusak dapat melakukan penyembuhan sendiri melalui suksesi sekunder dalam periode 15-30 tahun, dengan syarat sistem hidrologi pasang-surut tidak berubah, dan tersedia biji (propagul) atau bibit. Tindakan sengaja dengan restorasi buatan seringkali diperlukan untuk memastikan berhasilnya proses penyembuhan alami tersebut.

Gambar 2. Restorasi Mangrove di Desa Purwosari Kec. Sayung Kabupaten Demak Tahun 2008
Kegagalan restorasi mangrove dapat disebabkan kesalahan pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut, tipe tanah, pemilihan spesies, penggembalaan hewan ternah, sampah, kelemahan manajemen, dan ketiadaan partisipasi masyarakat. Di pesisir Kabupaten Demak, partisipasi kelompok tani dalam manajemen pengelolaan mangrove sangat menentukan keberhasilan restorasi mangrove. Masyarakat diwajibkan menjaga kelestarian mangrove, sebagi imbalannya mereka mendapatkan manfaat ekologi seperti perlindungan garis pantai dan terjaganya biodiversitas ikan, serta manfaat ekonomi secara langsung berupa produk kayu Rhizophora dan bibit Rhizophora yang dijual untuk kepentingan program restorasi. Kawasan ini merupakan salah satu salah pusat pembibitan Rhizophora terbesar di Jawa.
Salah satu strategi penting yang saat ini sedang banyak dibicarakan orang dalam konteks pengelolaan sumbedaya alam, termasuk ekosistem hutan mangrove adalah pengelolaan berbasis masyarakat (Community Based Management) yang mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan. Mengelola di sisi mengandung arti, masyarakat ikut memikirkan, memformulasikan, merencanakan, mengimplemetasikan, mengevaluasi maupun memonitorinya, sesuatu yang menjadi kebutuhannya. Dengan istilah community-based management itu juga mengandung arti suatu pendekatan (approach), dalam hal ini pendekatan dari bawah (bottom-up approach), sebagai kebalikannya pendekatan dari atas (top-down approach). Dasar pemikiran atau landasan berpijak pada pemberdayaan mangrove bagi kesejahteraan masyarakat pesisir berbasis masyarakat adalah keberlanjutan (sustainability) usaha pemanfaatan dan pelestarian hutan mangrove, baik ditinjau dari aspek sosial-ekonomi maupun aspek lingkungan hidup, dan bersifat merakyat (bottom up). Sifat merakyat ini merupakan bentuk implementasi dari kebutuhan, kemampuan dan kesepakatan masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan yang ada. Kegiatan ini bertujuan untuk:
1. Mengembangkan suatu bentuk pengelolaan pesisir terpadu dimana masyarakat menjadi pelaku utama dalam pemanfaatan lahan mangrove sebagai areal pertambakan secara berkelanjutan.
2. Menumbuhkan tanggung jawab masyarakat dengan cara meningkatkan kepedulian dan partisipasi mereka dalam menjaga dan melestarikan sumberdaya alam di lingkungan mereka.

E. KESIMPULAN DAN SARAN
Kabupaten Demak mempunyai pantai sepanjang 34,1 km, terbentang di 13 desa yaitu desa Sriwulan, Bedono, Timbulsloko dan Surodadi (Kecamatan Sayung), kemudian Desa Tambakbulusan Kecamatan Karangtengah, Desa Morodemak, Purworejo dan Desa Betahwalang (Kecamatan Bonang) selanjutnya Desa Wedung, Berahankulon, Berahanwetan, Wedung dan Babalan (Kecamatan Wedung). Sepanjang pantai Demak ditumbuhi vegetasi mangrove seluas sekitar 476 Ha.
Beberapa faktor yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Demak adalah: pertambakan, penebangan, reklamasi/ konversi lahan menjadi pemukiman dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan. Akibat kerusakan mangrove maka otomatis akan akan mengganggu bahkan merusak kedua ekosisitem lain dan pada akhirnya menurunkan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan manusia karena menurunnya sumber daya hayati seperti stok ikan, kepiting dan lain-lain. Kerusakan ekosistem ini juga secara sistemik sebagai salah satu penyebab global warming, dampak yang ditimbulkan berikutnya adalah :
1. Peningkatan muka air laut sehingga terjadi rob.
2. Rusaknya infrasturktur yang telah dibangun.
3. Terpaan angin yang kencang
4. Biaya pengelolaan kota akan bertambah.
5. Kegiatan sehari hari masyarakat terhenti.
6. Terputusnya sarana penerangan, transportasi dan komunikasi.
7. Abrasi
8. Relokasi
9. Hilangnya mata pencaharian masyarakat sebagai petani tambak akibat rob.
Pemecahan masalah terhadap kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Demak adalah restorasi ekositem mangrove dengan keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan. Dasar pemikiran atau landasan berpijak pada pemberdayaan mangrove bagi kesejahteraan masyarakat pesisir berbasis masyarakat adalah keberlanjutan (sustainability) usaha pemanfaatan dan pelestarian hutan mangrove, baik ditinjau dari aspek sosial-ekonomi maupun aspek lingkungan hidup, dan bersifat merakyat (bottom up).


F. DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL. IPB. Bogor.
Setyawan, A.D. dkk. 2004. Tumbuhan mangrove di Jawa: 2. Restorasi. Biodiversitas 5 (2): 105-118.
Setyawan, A.D. K. Winarno. 2006. Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Biodiversitas 7 (2): 159-163.
Snedaker. 1978. Mangrove; their values and perpetuation. National Resources. 14:6-13.

DAMPAK EKONOMI KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE




Tugas Mata Kuliah

















Oleh :
BUDI SULISTYAWAN
K4A008008





MAGISTER SAINS MANAJEMEN SUMBER DAYA PANTAI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2010 klik aja http://www.jualan.dizza.co.cc

jenis pupuk organik

Assalamualaikum
JENIS-JENIS BAHAN BAKU PUPUK ORGANIK

Syarat – syarat bahan untuk pembuatan pupuk bokashi
 Tidak mengandung bahan – bahan deterjen, soda (sabun) dan sejenisnya.
 Tidak mengandung bahan yang bersifat desinfektan atau pembasmi hama, ataupun bersifat racun pencegah hama dan sejenisnya.
 Terhindar dari minyak


Bahan-bahan organik dapat dikelompokan sbb:
 Pertanian
 Limbah dan residu tanaman
Jerami dan sekam padi, gulma, batang dan tongkol jagung, batang dan daun kacang hijau semua bagian vegetatif tanaman, batang pisang, sabut kelapa.

 Limbah dan residu ternak
Kotoran padat pupuk hijau, limbah ternak cair, limbah pakan ternak, cairan biogas
Sumber kotoran ternak

 Pupuk hijau
Glirisida, terano, mukuna, turi, lamtoro, sentosema, albasia.
 Tanaman air
Azola, ganggang biru, eceng gondok, gulma air.
 Penambat nitrogen
Mikroorganisme, mikoriza, rhizobium biologis.

 Industri
 Limbah padat
Serbuk kayu gergajian, kertas, ampas tebu, limbah kelapa sawit, limbah pengalengan makanan dan limbah pemotongan hewan.

 Limbah cair
Alkohol, limbah pengolahan kertas, ajinomoto, limbah pengolahan kelapa sawit.

 Limbah Rumah Tangga
Tinja, urin, sampah rumah tangga, sampah kota.

Fungsi / manfaat pupuk organik antara lain :
 Memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan
 Memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak berderai
 Menambah daya ikat air pada tanah
 Memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah
 Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara
 Mengandung hara yang lengkap, walaupun jumlahnya sedikit
 Membantu proses pelapukan bahan mineral
 Memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikrobia
 Menurunkan aktivitas mikroorganisme yang merugikan.

Semoga bermanfaat.


JENIS-JENIS BAHAN BAKU PUPUK ORGANIK




O l e h :
Budi Sulistyawan, SP
NIP. 19821016 200604 1 007

DINAS PERTANIAN
KABUPATEN DEMAK
2010

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut