April 10, 2010

coremap

Assalamualaikum
KEBIJAKAN CORAL REEF REHABILITATION AND
MANAGEMENT PROGRAM (COREMAP) UNTUK TERUMBU KARANG
Oleh : Budi Sulistyawan (NIM. K4A008008)

A. PENDAHULUAN
Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang sangat potensial. Salah satunya adalah sumberdaya terumbu karang yang hampir tersebar di seluruh perairan Indonesia. Luas terumbu karang Indonesia saat ini adalah 42.000 Km2 1 atau 16,5 % dari luasan terumbu karang dunia, yaitu seluas 255.300 Km2. Dengan estimasi di atas Indonesia menduduki peringkat terluas ke-2 di dunia setelah Australia, yang mempunyai luasan terumbu karang sebesar 48.000 Km2 (Bryant, et al 1998). Namun demikian apabila dilihat dari sisi keanekaragaman hayati, terumbu karang Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia dengan 70 genera dan 450 spesies (Veron, 1995).
Terumbu karang yang hidup didasar laut yang luas dengan beraneka ragam jenis dan warna merupakan habitat tempat hidup bagi berbagai biota terumbu karang yang bernilai ekonomi penting dan manfaat yang terkandung di dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam, baik manfaat langsung maupun manfaat tidak langsung seperti bunga karang, penyu, udang barong, kima, teripang, rumput laut serta ikan terumbu karang lainnya. Dari kekayaan hayati itulah terumbu karang berpotensi sebagai sumber makanan, obat-obatan, wisata, komoditi ekspor, bahan bangunan, pelindung pantai dari gempuran ombak, penahan abrasi pantai, pemecah gelombang, keanekaragaman hayati, tempat mengasuh, tempat mencari makan dan tempat pemijahan bagi biota lainnya serta sebagai laboratorium alam untuk penelitian dan pendidikan.
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dunia yang sangat pesat yang diiringi dengan eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan kelestariannya, berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup, termasuk sumberdaya terumbu karang. Peningkatan eksploitasi laut untuk memenuhi permintaan proteinikan dan produk produk perikanan bahan baku industri serta pemanfaatan lain dari ekosistem laut yang tidak terkendali membawa dampak pada kerusakan dan penurunan mutu dan produktivitas sumber daya laut. Salah satu sumber daya laut yang rentan terhadap aktivitas tersebut adalah ekosistem terumbu karang. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi umum terumbu karang dunia yang hampir 36 % dalam keadaan kritis akibat eksploitasi yang berlebih, 22 % terancam pencemaran dari limbah darat dan erosi serta 12 % terancam dari pencemaran (Bryant, 1998). Di Indonesia menurut penelitian P3O-LIPI yang dilakukan pada tahun 1996 menunjukkan bahwa 39,5 % terumbu karang Indonesia dalam keadaan rusak, 33,5 % dalam keadaan sedang, 21,7 % dalam keadaan baik dan hanya 5,3 % dalam keadaan sangat baik. Apabila tidak ada upaya nasional untuk menghentikan laju degradasi terumbu karang tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan degradasi terumbu karang akan semakin luas dan besar.
Ekosistem terumbu karang harus diselamatkan dari ancaman karena merupakan modal pembangunan, penggerak roda perekonomian yang dapat menyejahterakan masyarakat pesisir dan nelayan. Sebagai sumberdaya pesisir, ekosistem terumbu karang dan masyarakat yang bermukim disekitarnya merupakan suatu kesatuan pengelolaan. Menyadari akan hal tersebut maka penyusunan kebijaka nasional pengelolaan terumbu karang merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh pemerintah dalam rangka untuk mengurangi atau menghentikan laju degradasi terumbu karang yang dari waktu ke waktu semakin luas dan besar. Oleh karena itu pemerintah Indonesia mencanangkan program penyelamatan terumbu karang atau yang lebih dikenal dengan “Coral Reef Rehabilitation and Management Program” (COREMAP). Dalam pelaksanaannya program ini di wujudkan dalam 5 komponen kegiatan: Pengembangan Kelembagaan (Capacity Building), Pusat Informasi dan pelatihan terumbu karang (CRITIC), Pemantauan Pengawasan dan Penegakan Hukum (MCS), Penyadaran Masyarakat (Public Awareness), dan Pengelolaan Berbasis Masyarakat (CBM).

B. KEBIJAKAN NASIONAL UNTUK TERUMBU KARANG
Program penyelamatan terumbu karang atau yang lebih dikenal dengan “Coral Reef Rehabilitation and Management Program” (COREMAP) pelaksanaannya di wujudkan dalam 5 komponen kegiatan yaitu Pengembangan Kelembagaan (Capacity Building), Pusat Informasi dan pelatihan terumbu karang (CRITIC), Pemantauan Pengawasan dan Penegakan Hukum (MCS), Penyadaran Masyarakat (Public Awareness), dan Pengelolaan Berbasis Masyarakat (CBM). Terdapat tiga isu utama yang diperhatikan, yaitu (1) degradasi terumbu karang yang semakin besar, (2) kebutuhan pembangunan ekonomi masyarakat pesisir secara khusus, dan (3) pembagian kewenangan hak maupun kewajiban antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Sumberdaya terumbu karang merupakan bagian dari sumberdaya alam di wilayah pesisir yang pengelolaannya tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya alam lainnya seperti hutan mangrove, padang lamun, dan sumberdaya alam lainnya. Oleh karena itu kebijakan pengelolaan terumbu karang secara nasional harus memperhatikan serta menggunakan pendekatan menyeluruh (holistik) dan terpadu. Selain itu, sejalan dengan perkembangan politik nasional, maka kebijakan tersebut juga harus sejalan dengan pelaksanaan Undang Undang No. 22 tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, kebijakan yang diajukan merupakan upaya untuk membantu pelaksanaan otonomi daerah dalam mengelola sumberdaya terumbu karang di tiap-tiap daerah.
Kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang disusun dengan didasari oleh beberapa prinsip yaitu:
 Keseimbangan antara intensitas dan variasi pemanfaatan terumbu karang
 Pertimbangan pengelolaan sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat lokal dan ekonomi nasional
 Mengandalkan pelaksanaan peraturan formal dan peraturan non formal untuk mencapai tujuan pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang yang optimal
 Menciptakan insentif bagi pengelolaan yang berkeadilan dan berkesinambungan
 Mencari pendekatan pengelolaan secara kooperatif antara semua pihak terkait
 Menyusun program pengelolaan berdasarkan data ilmiah yang tersedia dan kemampuan daya dukung lingkungan
 Pengakuan hak-hak ulayat dan pranata sosial persekutuan masyarakat adat tentang pengelolaan terumbu karang
 Memantapkan wewenang daerah dalam pengelolaan terumbu karang sesuai dengan semangat otonomi daerah.
Sedangkan tujuan penyusunan kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang Indonesia ini adalah:
1. Pengelolaan yang seimbang antara intensitas dan variasi pemanfaatan yang didasarkan pada data ilmiah yang tersedia dan kemampuan daya dukung lingkungan.
2. Mengembangkan pengelolaan yang mempertimbangkan prioritas ekonomi nasional, masyarakat lokal dan kelestarian sumberdaya terumbu karang.
3. Mengembangkan pengelolaan terumbu karang secara kooperatif antara semua pihak.
4. Melaksanakan peraturan formal dan peraturan non formal.
5. Menciptakan insentif bagi pengelolaan yang berkeadilan dan berkesinambungan
Adapun sasaran kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang Indonesia ini adalah :
1. Meningkatnya kesadaran dan peran stakeholders dalam pengelolaan terumbu karang secara lestari
2. Terlaksananya pendelegasian wewenang kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan terumbu karang
3. Terciptanya kerjasama antar stakeholder dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang
4. Berkurangnya laju degradasi terumbu karang
5. Terciptanya suatu mekanisme dan landasan pengelolaan data ilmiah tentang potensi, bentuk-bentuk pemanfaatan lestari dan daya dukung lingkungan pada ekosistem terumbu karang.
6. Terlaksananya pola pengelolaan berbasis masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya terumbu karang.
Berbagai penelitian dan pengamatan terhadap pemanfaatan sumberdaya terumbu karang menunjukkan bahwa secara umum terjadinya degradasi terumbu karang ditimbulkan oleh dua penyebab utama, yaitu akibat kegiatan manusia (anthrophogenic causes) dan akibat alam (natural causes). Kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya degradasi terumbu karang antara lain: (1) Penambangan dan pengambilan karang, (2) Penangkapan ikan dengan menggunakan alat dan metoda yang merusak, (3) Penangkapan yang berlebih, (4) Pencemaran perairan, (5) Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, dan (6) Kegiatan pembangunan di wilayah hulu.
Sedangkan degradasi terumbu karang yang diakibatkan oleh alam antara lain: pemanasan global (global warming), bencana alam seperti angin taufan (storm), gempa teknonik (earthquake), banjir (floods) dan tsunami serta fenomena alam lainnya seperti El-Nino, La-Nina dan lain sebagainya.
Segenap permasalahan (kecuali yang diakibatkan oleh alam) yang menjadi penyebab terjadinya degradasi terumbu karang pada dasarnya disebabkan oleh beberapa faktorpen dorong yang menjadi akar permasalahan terjadinya degradasi tersebut. Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis terdapat 10 (sepuluh) faktor yang menjadi akar permasalahan, yaitu: (1) inkonsistensi dalam implementasi kebijakan yang diambil; (2) metode pengelolaan yang kurang memadai; (3) instrumen hukum dan penegakan peraturan perundangan yang belum memadai; (4) kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang arti penting dan nilai strategis terumbu karang dari berbagai kalangan (elit politik, pengusaha, publik); (5) kemiskinan; (6) keserakahan; (7) kapasitas dan kapabilitas pengelola yang kurang memadai; (8) permintaan pasar/tingkah laku konsumen; (9) faktor budaya/adat istiadat/kebiasaan; serta (10) status wilayah terumbu karang yang terbuka untuk umum.
Degradasi terumbu karang baik ditimbulkan oleh kegiatan manusia maupun perubahan kondisi alam menyebabkan hilangnya sebagian aset nasional, yaitu terjadinya penurunan produktivitas sumberdaya terumbu karang (seperti penangkapan dan pariwisata) dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya (seperti volume dan jenis karang serta biota penghuninya). Berkurangnya produktivitas sumberdaya terumbu karang yang diakibatkan oleh terjadinya degradasi terumbu karang semakin memperburuk posisi masyarakat pesisir yang hidupnya sangat tergantung pada sumberdaya alam tersebut.
Salah satu faktornya adalah bahwa penegakan hukum terhadap berbagai peraturan yang ada tidak pernah dilakukan secara konsisten dan terus menerus. Hal tersebut diperburuk lagi oleh ketidakjelasan wewenang dan tanggungjawab dari berbagai instansi pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya itu.
Belum berhasilnya pengelolaan terumbu karang yang dilakukan oleh pemerintah selama ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu;
1. Minimnya pemahaman terhadap nilai-nilai yang tidak tampak dan total nilai ekonomis yang sebenarnya dari ekosistem terumbu karang,
2. Rendahnya upaya koordinasi diantara berbagai instansi pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal, Terumbu karang belum menjadi isu utama dalam agenda politik para pemimpin bangsa,
3. Kurangnya pengalokasian dana bagi pengelolaan terumbu karang, Lemahnya pendekatan metode dan strategi maupun lobi yang dilakukan oleh berbagai kelompok pemerhati masalah lingkungan dalam pengelolaan terumbu karang,
4. Program pengelolaan yang hanya mengandalkan satu jenis pendekatan, yaitu pengelolaan daerah konservasi (taman nasional, dll).
5. Kurangnya konsistensi dan lemahnya penegakan hukum.
6. Belum menempatkan masyarakat pesisir dalam pengelolaan terumbu karang
Dengan diberlakukannya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka kesempatan masyarakat lokal untuk memperoleh hak dalam mengelola sumberdaya alam yang terdapat di wilayahnya, dalam hal ini sumberdaya terumbu karang semakin besar. Namun harus disadari pula bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat lokal selain memberikan peluang juga menuntut adanya tanggung jawab dari masyarakat tersebut. Apabila masyarakat diberikan atau menuntut hak atau legitimasi terhadap pengelolaan sumberdaya terumbu karang di wilayahnya, maka mereka juga harus menerima dan menjalankan kewajiban atau tanggungjawabnya untuk mengelola sumberdaya tersebut secara berkelanjutan. Kewajiban atau tanggung jawab tersebut mempunyai arti bahwa masyarakat harus dapat turut memikul beban biaya yang diperlukan untuk memulihkan kembali sumberdaya tersebut agar tetap lestari. Biaya pengelolaan yang harus dipikul tersebut dapat meliputi berbagai hal seperti; penyediaan infrastruktur pengelolaan, pelaksanaan penegakan hukum, pemantauan kualitas sumberdaya, pengurangan unit-unit penangkapan ikan, pengurangan daerah-daerah penangkapan ikan, berkurangnya pendapatan dalam waktu tertentu, bantuan-bantuan teknis, administrasi, penciptaan berbagai alternatif mata pencaharian, dan lain sebagainya.

C. ANALISIS SWOT
Kabupaten Demak adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang terletak pada 6º43'26" - 7º09'43" LS dan 110º48'47" BT dan terletak sekitar 25 km di sebelah timur Kota Semarang. Demak dilalui jalan negara (pantura) yang menghubungkan Jakarta-Semarang-Surabaya-Banyuwangi. Kabupaten Demak memiliki luas wilayah seluas ± 1.149,77 km², yang terdiri dari daratan seluas ± 897,43 KM², dan lautan seluas ± 252,34 km². Sedangkan kondisi tekstur tanahnya, wilayah Kabupaten Demak terdiri atas tekstur tanah halus (liat) dan tekstur tanah sedang (lempung). Dilihat dari sudut kemiringan tanah, rata-rata datar. Dengan ketinggian permukaan tanah dari permukaan air laut (sudut elevasi) wilayah Kabupaten Demak terletak mulai dari 0 M sampai dengan 100 m. Kabupaten Demak mempunyai pantai sepanjang 34,1 km, terbentang di 13 desa yaitu desa Sriwulan, Bedono, Timbulsloko dan Surodadi (Kecamatan Sayung), kemudian Desa Tambakbulusan Kecamatan Karangtengah, Desa Morodemak, Purworejo dan Desa Betahwalang (Kecamatan Bonang) selanjutnya Desa Wedung, Berahankulon, Berahanwetan, Wedung dan Babalan (Kecamatan Wedung). Sepanjang pantai Demak ditumbuhi vegetasi mangrove seluas sekitar 476 Ha.

D. KESIMPULAN
Kabupaten Demak mempunyai pantai sepanjang 34,1 km, terbentang di 13 desa yaitu desa Sriwulan, Bedono, Timbulsloko dan Surodadi (Kecamatan Sayung), kemudian Desa Tambakbulusan Kecamatan Karangtengah, Desa Morodemak, Purworejo dan Desa Betahwalang (Kecamatan Bonang) selanjutnya Desa Wedung, Berahankulon, Berahanwetan, Wedung dan Babalan (Kecamatan Wedung). Sepanjang pantai Demak ditumbuhi vegetasi mangrove seluas sekitar 476 Ha.
Beberapa faktor yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Demak adalah: pertambakan, penebangan, reklamasi/ konversi lahan menjadi pemukiman dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan. Akibat kerusakan mangrove maka otomatis akan akan mengganggu bahkan merusak kedua ekosisitem lain dan pada akhirnya menurunkan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan manusia karena menurunnya sumber daya hayati seperti stok ikan, kepiting dan lain-lain. Pemecahan masalah terhadap kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Demak adalah restorasi ekositem mangrove dengan keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan. Dasar pemikiran atau landasan berpijak pada pemberdayaan mangrove bagi kesejahteraan masyarakat pesisir berbasis masyarakat adalah keberlanjutan (sustainability) usaha pemanfaatan dan pelestarian hutan mangrove, baik ditinjau dari aspek sosial-ekonomi maupun aspek lingkungan hidup, dan bersifat merakyat (bottom up).

E. DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL. IPB. Bogor.
Setyawan, A.D. dkk. 2004. Tumbuhan mangrove di Jawa: 2. Restorasi. Biodiversitas 5 (2): 105-118.
Setyawan, A.D. K. Winarno. 2006. Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Biodiversitas 7 (2): 159-163.
Snedaker. 1978. Mangrove; their values and perpetuation. National Resources. 14:6-13.

KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE,
DAMPAK DAN PEMECAHANNYA




Tugas Mata Kuliah

















Oleh :
BUDI SULISTYAWAN
K4A008008





MAGISTER MANAJEMEN SUMBER DAYA PANTAI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2009 klik http://www.jualan.dizza.co.cc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Daftar Blog Saya

Pengikut